Kasih Ibu Segera Sampai dengan JNE Super Speed

 


Memiliki anak yang belajar di pondok pesantren memberikan rasa dilema di hati seorang ibu. Antara keinginan untuk memberikan pondasi agama yang kuat pada anak dan rasa rindu yang akan selalu dirasakan selama sang anak di pesantren. Hari-hari yang dilalui tanpa sang anak di rumah akan terasa sepi. Rumah yang biasanya ramai oleh canda tawa terasa sangat berbeda.

Inilah yang kurasakan memiliki anak yang belajar di pondok pesantren. Tapi beruntungnya, anakku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di pondok pesantren. Dia yang sejak duduk di bangku SMP sudah kumasukkan ke pondok pesantren sudah dapat membiasakan diri bahkan menikmati kehidupan di pondok pesantren. 

Bedanya, dulu dia belajar di pesantren di dalam kota tempat tinggal  kami. Hampir tiap pekan aku mengunjunginya untuk sekedar mengantarkan sedikit makanan untuknya. Kini, setelah memasuki jenjang SMA dia memilih pesantren yang berada di luar kota. Alasannya, boarding school tersebut memiliki fasilitas asrama dan pendidikan yang lebih memadai daripada pondoknya terdahulu. Setelah melalui beberapa tes masuk akhirnya anakku diterima sebagai santriwati di pondok pesantren yang berlokasi di kabupaten Malang itu. Waktu berkunjung ditetapkan satu bulan satu kali sesuai jadwal yang ditentukan oleh pihak lembaga. 

Selain waktu kunjungan ada sesi yang selalu ditunggu-tunggu yaitu jadwal video call  sepekan sekali. Hari ditentukan, waktu panggilan video hanya durasi 15 menit. Mendengar cerita-ceritanya yang begitu antusias aku merasa bersyukur anakku menikmati proses belajarnya. Dia kelihatannya bahagia dengan teman-teman barunya dan juga guru-guru yang sabar dan kompeten. Dalam perbincangan di panggilan tersebut tak jarang dia meminta sesuatu untuk dikirimkan melalui paket. Mulai dari buku sampai pernak-pernik yang tidak dijual di dalam pondok namun diijinkan untuk dibawa. 

Suatu hari, tiba-tiba aku dikagetkan oleh pesan whatsapp dari musrifahnya. Musrifah adalah sebutan untuk ustadzah pendamping kamar di pondok pesantren. Dalam pesan itu terlampir gambar surat tulisan tangan anakku. Kubaca pesannya yang intinya dia minta dikirim beberapa perlengkapan berkemah yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Dia bilang lupa menyampaian waktu jadwal video call. “Aduh! Baru tadi siang paket yang diminta kemarin dikirim. Sekarang minta lagi dan waktuya sudah mepet. Dua hari lagi! Gimana sih.!” gerutuku dalam hati. Segera kukemas pesanan yang akan dikirim. Esok paginya aku meluncur ke kantor JNE terdekat yang ada di daerahku. Petugas ramah menyapaku. Dengan perasaan sedikit putus asa kusampaikan pada petugas bahwa paket butuh sampai segera. Petugas tersebut menyarankanku menggunakan JNE SS. “ Apa itu JNE SS, mbak?”tanyaku penasaran dan muncul harapan baru. Dia menjelaskan bahwa JNE SS (Super Speed) adalah layanan yang paling cepat dan juga termahal di JNE. Super Speed atau juga dikenal sebagai Special Service adalah layanan pengiriman yang menjanjikan waktu pengiriman sampai ke tujuan pada hari yang sama (same day) atau maksimal 24 jam. Kupikir apa salahnya kukeluarkan biaya lebih mahal asalkan paket kebutuhan anakku segera sampai padanya. Akhirnya paket terkirim dengan JNE Super Speed. Sore harinya kucoba menghubungi musrifah anakku untuk menanyakan kedatangan paket. Jawabannya sangat mencengangkan dan melegakanku. Wow! paket telah sampai ke tangan anakku. Untung ada JNE SS, terima kasih JNE.


#JNE#ConnectingHappiness#JNE33Tahun
#JNEContentCompetition2024#GasssTerusSemangatKreativitasnya


 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

128 Tahun BRI Tumbuh Hebat dan Kuat

Tentang Novel "Sehidup Sesurga" karya: Asma Nadia