KEMAMPUAN SINTAKSIS ANAK TUNARUNGU (STUDI KASUS EZRA)
Oleh: Pipiet Palestin Amurwani
Tulisan ini telah terbit di jurnal KANDAI, sebuah jurnal bahasa nasional terakreditasi (Sinta 2), Volume 16 No. 1, Mei 2020 Halaman 143—151
Abstrak
Bahasa
sebagai instrumen komunikasi berperan dalam menyampaikan pesan dari penutur
kepada pendengarnya. Salah satu faktor yang mendukung lancarnya komunikasi
menggunakan bahasa adalah susunan kalimat atau sintaksis yang benar. Tulisan
ini bertujuan mendeskripsikan kemampuan sintaksis Ezra setelah menjalani terapi
wicara selama satu tahun. Subyek penelitian adalah seorang anak berusia 7 tahun
dengan gangguan pendengaran berat (kanan 95 dB, kiri 85 dB), bernama Ezra. Data diperoleh
dengan cara merekam dan mencatat ujaran-ujaran yang diucapkan Ezra. Data
berupa ujaran dianalisis menggunakan teori sintaksis bahasa Indonesia Chaer
(2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ezra dapat mengungkapkan keinginan,
kemampuan, dan kesukaannya menggunakan pola kalimat dasar S+Adverbial+P,
S+Adverbial+P+O, dan S+P+O. Dalam mengungkapan aktivitas yang sudah dia
lakukan, Ezra menggunakan pola yang terbalik antara predikat dan adverbial
“sudah”. Ezra belum bisa merespon pertanyaan dengan benar. Ini dapat dilihat
dari jawaban yang diberikan tidak
relevan dengan pertanyaan. Dalam mengungkapkan pertanyaan Ezra cenderung
menggunakan kata benda sebagai pengganti kata kerja.
Kata Kunci: bahasa, perkembangan, rubella, tuli, tuna
rungu.
PENDAHULUAN
Bahasa sebagai instrumen komunikasi
berperan dalam menyampaikan pesan dari penutur kepada pendengarnya. Selaras
dengan pendapat Keraf (2004) bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan
oleh anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Agar dapat berkomunikasi dengan baik seseorang harus menguasai suatu
bahasa yang baik pula. Penguasaan bahasa merupakan kemampuan seseorang dalam
hal menguasai bahasa baik secara lisan ataupun tulisan untuk menyampaikan
gagasannya (Kurniasari, Sumarti, Ramadhani, 2020). Salah satu faktor yang
mendukung lancarnya komunikasi menggunakan bahasa adalah penggunaan sintaksis
yang benar. Sintaksis yang kurang tepat akan menyebabkan proses komunikasi
menjadi lambat atau bahkan pesan yang dimaksud tidak tersampaikan. Selaras
pendapat Tarmini dan Sulistyawati (2019) bahwa fungsi sintaktis adalah
menghubungkan kata atau frasa dalam kalimat itu, artinya fungsi itu memiliki
hubungan dengan urutan kata atau frasa dalam kalimat.
Ada
beberapa penelitian sebelumnya mengenai kemampuan berbahasa anak dengan
gangguan dengar. PahlavanNezhad
dan Tayarani (2014) meneliti tentang fitur sintaksis anak-anak
dengan gangguan pendengaran parah yang memiliki akses ke alat bantu dengar
dibandingkan dengan anak-anak dengan pendengaran normal. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa a perbedaan yang signifikan antara skor sintaksis dari
anak-anak dengan gangguan pendengaran dan skor anak-anak yang mendengar pada
usia yang sama dalam "imitasi kalimat" (t = −2 / 90, P <0/05) dan
"penyelesaian tata bahasa" ”(T = −3 / 39, P <0/05) subtes, tanpa perbedaan
signifikan pada subtest“ pemahaman gramatikal ”(t = 1/67, P> 0/05).
Noermasari dan Efendi (2016) meneliti tentang pengaruh metode maternal
reflektif terhadap kemampuan berbicara anak tunarungu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata pretest dan postetst
sebesar 25,6 sehingga dapat dikatakan bahwa metode maternal reflektif
berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan berbicara anak tunarungu.
Kumalasari dan Yuni (2016) meneliti tentang perbedaan hasil belajar sebelum dan
sesudah menggunakan kartu gambar dan kata untuk menyusun kalimat. Temuan
penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan kartu gambar dan
kata sebagai bentuk intervensi terhadap kemampuan menyusun kalimat perintah.
Christine (2016) meneliti tentang pemerolehan bahasa pada anak tuna rungu.
Hasil menunjukkan bahwa para tunarungu dapat memperoleh bahasa lisan bahkan
tanpa bantuan bahasa isyarat. Ganur, Bunga, & Kiling (2014) meneliti
tentang pola komunikasi pada anak usia dini yang menderita tunarungu bukan
bawaan. Penelitian ini menemukan bahwa anak tunarungu bukan bawaan melakukan
komunikasi dengan kontak mata, pengulangan
kata, ekspresi wajah. Nugroho (2012) meneliti tentang kemampuan audiotorik pada
anak tunarungu sangat berat dengan dan tanpa bantu alat dengar. Penelitian ini menggunakan
sampel penelitian 20 anak, 11 laki-laki dan 9 perempuan, dengan ABD 10
anak dan tanpa ABD 10 anak. Rentang usia sampel 30–60 bulan (rata-rata 49,25 ±
7,41 bulan), rentang usia terdeteksi 6–37 bulan (rata-rata 27,10 ± 8,27 bulan).
Rata-rata skor auditorik kelompok sampel dengan ABD 26,60 ± 8,80 sedangkan
kelompok tanpa ABD 3,40 ± 1,84 (p=0,000). Kelompok dengan ABD memiliki
70% dukungan keluarga baik, kelompok tanpa ABD memiliki 10% dukungan keluarga
baik. Ditemukan bahwa skor kemampuan auditorik anak tuli kongenital derajat
sangat berat dengan ABD lebih baik. Arief, et all. (2018) meneliti tentang
persepsi audiotory CAP-II pada anak tuli prelingual bilateral 6-12 bulan pasca
implantasi koklea. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasca implantasi
koklea, anak tuli memiliki peningkatan persepsi audiotori CAP-II dibandingkan
sebelum penggunaan implant koklea. Ini dapat dievaluasi sejak 6 bulan pasca
implant.
Penelitian ini memfokuskan kajiannya pada
kemampuan sintaksis anak tuna rungu, Ezra berusia 7 tahun. Ezra mengalami
gangguan dengar berat sejak lahir dengan kondisi pendengaran kanan 95 dB dan
kiri 85 dB. Sementara kondisi normal pendengaran manusia adalah 0 - 20 dB. Ketunarunguan
Ezra kemungkinan besar dikarenakan paparan virus morbili (rubella) yang
diderita ibunya ketika janin Ezra berusia 3 bulan dalam kandungan. Seperti
diungkapan American
College of Obstatrician and Gynecologist
(1981) bahwa ibu yang terinfeksi Rubella bisa menularkan virus tersebut ke
janin yang dikandungnya sehingga menyebabkan Congenital Rubella Syndrome (CRS)
saat lahir. Dikatakan juga bahwa dampak lain CRS antara lain adalah kelainan
jantung, gangguan pengelihatan atau pendengaran dan juga bisa menyebabkan
kelahiran prematur.
Kondisi Ezra tersebut baru diketahui ketika Ezra berusia 5 tahun. Dengan
demikian Ezra melewatkan masa perkembangan bahasanya pada usia 1-3 tahun
sebagai masa emas. Selaras dengan pendapat PahlavanNezhad dan Niknezhad (2014) bahwa masa penting
perkembangan emas bahasa pada anak adalah sampai anak berusia 36 bulan atau 3
tahun.
Keterlambatan diagnosa gangguan pendengaran
yang dialami Ezra menjadi faktor utama keterlambatannya dalam berbicara. Children’s Hospital of Philadelphia (2017)
menyatakan bahwa kehilangan pendengaran yang tidak terdeteksi sampai
bertahun-tahun menyebabkan tidak ada stimulasi pada pusat otak bagian
pendengaran yang berdampak pada kematangan dan perkembangan pendengaran.
Sehingga kondisi tersebut menyebabkan tertundanya bicara dan berbahasa yang
berpengaruh pada perkembangan sosial dan emosiaonal serta keberhasilan di
sekolah. Widyastuti da Widiana (2020) berpendapat bahwa oang yang mengalami
ketunarunguan sejak lahir atau setelah lahir, akan mengalami kesulitan
menangkap pembicaraan orang lain sehingga perkembangan berbicaranya tidak baik
meskipun tidak mengalami gangguan pada alat suaranya. Martiana (2014) juga
berpendapat bahwa anak yang mengalami kesulitan pendengaran akan mengalami
kesulitan dalam memahami, meniru, dan menggunakan bahasa.
Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap kemampuan sintaksis Ezra setelah
menggunakan alat bantu dengar (ABD) dan menjalani terapi wicara selama dua
tahun dengan frekuensi terapi satu kali dalam seminggu. Dengan demikian
diharapkan penelitian ini dapat memperkaya dan
memperluas tema penelitian dalam bidang bahasa khususnya psikolinguistik serta
bisa menjadi rujukan bagi para orang tua yang memiliki anak dengan gangguan
pendengaran sehingga dapat menentukan terapi atau tindakan yang perlu untuk
dilakukan.
Landasan Teori
Bahasa merupakan alat yang digunakan
sebagai alat berinteraksi dan berkomunikasi dalam masyarakat. Chaer (2009)
menyatakan bahwa di antara bahasa merupakan salah satu dari bentuk perilaku.
Ini berarti bahwa bahasa adalah salah satu fenomena yang dapat ditangkap lewat
panca indera, yaitu indra pendengaran. Alat pendengaran ini tidak semua anak
mempunyai fungsi pendengaran yang baik, sehingga memengaruhi berbahasa seorang
anak. Hal inilah yang terjadi pada Ezra, yang mengalami gangguan pendengaran
berat sejak lahir dan baru terdeteksi ketika Ezra berusia 5 tahun.
Fenomena kebahasaan yang dialami oleh
seorang yang mengalami gangguan pendengaran adalah kesulitan dalam hal
sintaksis, seperti yang dikatakan oleh PahlavanNezhad dan Niknezhad (2014) bahwa kemampuan sintaksis
anak-anak dengan gangguan pendengaran dalam pemahaman kosakata dan penggunaan
lebih rendah daripada anak-anak dengan pendengaran normal pada usia yang sama.
Fenomena yang lain adalah anak yang mengalami gangguan pendengaran tidak bisa
merespin pertanyaan dengan baik, seperti pendapat Damayanti, dkk. (2016)
menyatakan bahwa anak tunarungu mengalami keterbatasan dalam bahasa dan bicara
yang diakibatkan oleh gangguan pada pendengarannya, sehingga memiliki
permasalahan terutama dalam membangun komunikasi pada kehidupan sehari-hari
dengan orang normal maupun sesama tunarungu.
Dalam bahasa
Belanda sintaksis disebut syntaxis, bahasa
Inggris menyebutnya syntax, dan dalam
bahasa Arab nahu adalah ilmu bahasa
yang membahas tentang hubungan antarunsur bahasa untuk membentuk sebuah
kalimat. Dalam bahasa Yunani sintaksis disebut suntattein yang terdiri dari sun
berarti ‘dengan’ dan tattein berarti ‘menempatkan’.
Secara etomologis istilah tersebut berarti menempatkan bersama-sama kata-kata
menjadi kelompok kata (frasa) atau kalimat dan kelompok-kelompok kata (frasa)
menjadi kalimat. Oleh sebab itu, dalam bahasa Indonesia, sintaksis disebut
dengan ilmu tata kalimat.
Sintaksis dan
morfologi merupakan bagian dari tatabahasa atau gramatika. Apabila dalam bidang
morfologi dibahas tentang morfem, kata, dan pembentukan kata, maka dalam
sintaksis dibahas tentang frasa, klausa, dan kalimat sebagai kesatuan
sistemisnya. Satuan frasa terdiri atas unsur-unsur yang berupa kata; satuan
klausa terdiri atas unsur-unsur yang berupa frasa; dan satuan kalimat terdiri
atas unsur-unsur yang berupa klausa. Sebagai bagian dari ilmu bahasa, sintaksis
menjelaskan hubungan antara unsur-unsur satuan tersebut baik berdasarkan
hubungan fungsional maupun hubungan makna.
Alat sintaksis
yang sangat penting dalam menentukan berterimanya kalimat dalam Bahasa
Indonesia adalah urutan kata, bentuk kata, penggunaan kata tugas dan intonasi.
Kata sebagai bentuk bermakna yang berdiri sendiri,dapat berada di posisi awal,
tengah atau akhir dalam kalimat sepanjang maknanya berterima secara gramatikal.
Urutan kata dalam bahasa Indonesia menjadi penting, maksudnya urutan kata boleh
dipindahkan asalkan maknanya tepat dalam bahasa Indonesia.
Chaer
(2009) mengatakan bahwa fungsi sintaktis adalah menghubungkan kata atau frasa dalam
kalimat itu, ini berarti fungsi itu memiliki hubungan dengan urutan kata atau
frasa dalam kalimat. Fungsi sintaktis
utama dalam bahasa adalah subjek, predikat, objek, keterangan dan pelengkap
(S-P-OKet-Pel). Ada pula fungsi lain seperti atributif (yang menerangkan),
koordinatif (yang menggabungkan secara setara), subordinatif (yang
menggabungkan secara bertingkat). Dalam bahasa Indonesia, biasanya subjek
terletak di depan predikat. Subjek dapat berwujud nomina/benda tetapi dapat
pula berwujud kategori yang lain. Subjek dan predikat dalam bahasa Indonesia
diharapkan selalu muncul dalam komunikasi formal, karena fungsi subjek dan
predikat dalam klausa saling berkaitan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
subjek (S) adalah bagian klausa yang menandai apa yang dinyatakan oleh
pembicaraan, dan predikat (P) adalah bagian klausa yang menandai apa yang
dinyatakan oleh pembicaraan mengenai subjek (S).
Terdapat
banyak sekali kalimat yang dapat digunakan sebagai alat komunkasi, baik lisan
maupun tulisan. Hal itu dapat diketahui jika dilakukan pengamatan secara
langsung selama kegiatan komunikasi berlangsung. Kalimat yang tidak terbatas jumlahnya
tersebut dapat dikembalikan pada struktur dasar yang jumlahnya terbatas. Ini
berarti bahwa semua kalimat yang digunakan berasal dari beberapa pola kalimat
dasar saja kemudian dikembangkan dan diperluas. Pengembangan atau perluasan kalimat harus didasarkan pada
kaidah-kaidah yang ada dalam tata bahasa. Beberapa pola kalimat dasar menurut
Chaer (2009) diantaranya; subyek (S) diikuti adverbia (Adv.) dan predikat (P).
Adverbial
yang dapat digunakan dalam kalimat sederhana diantaranya adverbial mau dan sudah. Adverbial mau digunakan untuk menyatakan ‘suatu tindakan
yang akan dilakukan’ diletakkan di sebelah kiri kata-kata berkategori verba.
Sementara itu, adverbial sudah merupakan
adverbial keselesaian yang menyatakan tindakan atau perbuatan sudah selesai
dilakukan, yang berposisi di sebelah kiri verba atau ajektifa (yang mengisi
fungsi predikat).
Metode
Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif. Data yang disajikan berupa ujaran-ujaran Ezra. Ujaran – ujaran yang digunakan direkam ketika Ezra
bermain dan belajar, baik secara spontan diujarkan maupun dengan diberi
stimulasi terlebih dahulu. Dalam penelitian ini ujaran yang dimaksud adalah
ujaran Ezra dalam bentuk kalimat baik yang tersusun dengan benar maupun yang
tidak. Data yang diperoleh dikelompokkan dan dianalisis sesuai dengan kebutuhan
penelitian menggunakan teori sintaksis bahasa Indonesia Chaer (2009) dan
didukung oleh teori-teori yang lain.
Hasil dan
Pembahasan
Penelitian ini dilakukan untuk
mendeskripsikan kemampuan Ezra, anak tuna rungu berusia 7 tahun yang telah
menggunakan ABD dan menjalani terapi wicara selama dua tahun. Data dalam
penelitian ini berupa ujaran Ezra sejumlah 12 ujaran.
Kemampuan
Sintaksis Ezra setelah Dua Tahun Menjalani Terapi Wicara
Seperti telah dijelaskan sebelumnya,
bahwa Ezra telah menjalani terapi wicara selama dua tahun dengan frekuensi
terapi satu kali dalam satu minggu. Terapi diberikan oleh seorang terapis di
lembaga pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Dari data di bawah ini, dapat dilihat
bahwa Ezra mampu berujar dengan sintaksis yang benar dalam kalimat-kalimat
sederhana dengan pola subyek (S), adverbia (Adv.) dan predikat (P) dan pola SPO seperti pada data
(1), (2), (3), (4) dan (5) berikut;
(1) “ezya mau mata”
S
Adverbia (Adv.) P
( ezra mau makan )
S
Adv. P
(2) “ezya mau
tidu”
S
Adv. P
( ezra mau tidur )
S
Adv. P
(3) “ezya
mau mae”
S
Adv. P
( ezra mau main)
S Adv. P
(4) “ezya bisa buat
umah”
S Adv.
P O
(ezra bisa buat
rumah).
S
Adv. P O
(5) “ezya suta uya tau”
S P O
(ezra suka ulang tahun).
S P O
Adverbia
mau digunakan untuk menyatakan suatu
tindakan yang akan dilakukan diletakkan di sebelah kiri kata-kata berkategori
verba (Chaer, 2009). Demikian juga dengan adverbial bisa yang menyatakan suatu kemampuan melakukan sesuatu. Pada data
(5) kata suta (suka) merupakan
predikat yang langsung diikuti oleh obyek uya
tau (ulang tahun). Data (1), (2),
(3), (4), dan (5) menunjukkan bahwa Ezra dapat menggunakan kalimat sederhana
yang berupa ujaran berhubungan dengan dirinya sendiri yaitu keinginan,
kemampuan, dan kesukaan.
(6) “ezya
mata udah”
S P
Adv.
(ezra sudah makan)
S
Adv. P
(7) “ezya
maddi udah”
S P
Adv
(ezra sudah mandi)
S Adv. P
(8) “ezya beaja udah”
S P
Adv.
(ezra sudah belajar)
S Adv. P
Pada
data (6), (7), dan (8), Ezra menyatakan sudah melakukan sesuatu, namun dengan
urutan kata yang tidak tepat. Kesalahan sintaksis pada data tersebut
dikarenakan perolehan bahasa dari ibu, sebagai orang
yang paling dekatdan paling sering berkomunikasi dengan Ezra, sering menggunakan
kalimat bertanya “ezra, makan? Sudah?”.
Diketahui bahwa maksud ibu bertanya, tetapi dipahami oleh Ezra sebagai kalimat
berita. Ini menunjukkan peran penting ibu dalam pemerolehan bahasa anak karena
ibu adalah orang yang sering berkomunikasi
dengan anak. Selaras dengan pernyataan PahlavanNezhad dan Niknezhad (2014) bahwa perkembangan
keterampilan berbahasa dipengaruhi oleh cara bicara orang-orang di sekitar
anak, terutama ibu, serta kompleksitas kalimat, pengulangan dan latihan, dan
acara komunikatif yang tepat. Adi,dkk. berpendapat bahwa faktor pengasuhan
membawa pengaruh yang berbeda-beda terhadap perkembangan pemerolehan bahasa
pada anak. Ini menandakan bahwa ibu sebagai orang yang
memberkan pengasuhan ada anak memiliki pengaruh yang besar dalam pemerolehan
bahasa anaknya.
Menurut Chaer (2009) kata sudah merupakan adverbial (Adv.)
keselesaian yang menyatakan tindakan atau perbuatan dalam fungsi predikat (P)
sudah selesai dilakukan, yang berposisi di sebelah kiri verba atau ajektifa.
Demikian juga dalam kalimat
larangan, Ezra mengucapkan kalimat tersebut dengan pola yang tidak tepat dalam
menempatkan adverbial dan predikat. Terlihat pada ujaran berikut;
(9) “ambe tabbi
ndak boleh”,
P
O Adv.
(tidak boleh ambil kambing)
Adv.
P
O
Data (10) memperlihatkan jawaban Ezra
tidak relevan dengan pertanyaan yang diberikan oleh gurunya dan memiliki pola
sintaksis yang tidak beraturan. Ini menunjukkan bahwa Ezra tidak dapat merespon
pertanyaan dengan baik. Selaras dengan pendapat Carns (2015) bahwa anak-anak
dengan gangguan dengar berat (tuli) memiliki keterlambatan dalam memproduksi
dan memahami pertanyaan secara sintaksis, dan mereka menunjukkan tingkat variabilitas
yang lebih besar dalam ketrampilan sintaksis dibandingkan dengan rekan-rekan
sebaya mereka yang normal. Dijelaskan bahwa anak-anak dengan gangguan dengar
berat cenderung memiliki kemampuan sintaksis yang kurang dalam hal membuat atau
merespon pertanyaan seperti ujaran yang terdapat pada data (10) berikut;
(10) “…”
Ustadzah:”sholat
subuhnya bangun sendiri
apa dibangunkan”
Ezra
:”banu padi”
(bangun pagi)
“...”
Ezra :”bobo tadi
uda banu mama soyat ezya
beyom udu duyu soyat duyu aa
soyat subuh dua
udah …..”
(tadi
pagi tidur lalu bangun, ibu bilang “ezra belum sholat, wudhu dulu, sholat dulu.
Ezra sudah sholat subuh dua rakaat…)
Pada
data (10), Ustadzah bertanya Ezra bangun sendiri atau dibangunkan, namu Ezra
mersponnya dengan jawaban “bangun pagi”. Jawaban yang diberikan Ezra tidak
menjawab pertanyaan Ustadzah dengan tepat. Ini menandakan bahwa Ezra tidak
mampu merespon pertanyaan dengan benar. Selaras dengan pendapat Carns (2015)
juga didukung oleh PahlavanNezhad dan Niknezhad (2014) bahwa kemampuan sintaksis
anak-anak dengan gangguan pendengaran dalam pemahaman kosakata dan penggunaan
lebih rendah daripada anak-anak dengan pendengaran normal pada usia yang sama.
Demikian juga dengan pernyataan Williams (2006) bahwa kalimat-kalimat yang
dibentuk oleh orang-orang dengan gangguan pendengaran adalah kalimat sederhana,
dengan lebih sering menggunakan kata benda dan ujaran yang lebih pendek
dibandingkan dengan orang-orang dengan pendengaran normal. Mereka sering
memiliki kesalahan verbal dalam ujaran mereka, dan terdapat ketidak selarasan
antara subjek dan kata kerja. Damayanti, dkk. (2016) menyatakan bahwa anak
tunarungu mengalami keterbatasan dalam bahasa dan bicara yang diakibatkan oleh
gangguan pada pendengarannya, sehingga memiliki permasalahan terutama dalam
membangun komunikasi pada kehidupan sehari-hari dengan orang normal maupun
sesama tunarungu.
Pernyataan-pernyataan di atas sangat
mendukung kondisi yang dialami Ezra yaitu tidak bisa berkomunikasi secara baik
dengan orang lain serta lebih sering menggunakan kata benda dan sering
melakukan kesalahan dalam susunan antara subyek dan predikat, seperti terlihat
juga pada data berikut;
(11) “di mana ezya
toyam yeya?”
(Di mana Ezra kolam renang?)
Dapat
dilihat pada data (11) bahwa Ezra bermaksud mengatakan “di mana ezra
berenang?”, namun Ezra menggunakan kata benda “kolam renang” sebagai pengganti
kata kerja “berenang”. Demikian juga yang terlihat pada data (12) berikut;
(12)“besok
hp ya di umah yak o, boyeh?”
(besok
hp ya di rumah yang kung, boleh?)
Pada
data (12) dapat dipahami bahwa Ezra meminta ijin bermain HP di rumah kakeknya.
Kata ‘main’ yang seharusnya menjadi kata kerja dalam kalimat tersebut tidak
diucapkan digantikan dengan kata benda “HP”, namun secara konteks kalimat
tersebut masih komunikatif atau dapat dipahami.
Kesimpulan
Dari pembahasan-pembahasan di atas, disimpulkan
bahwa setelah Ezra memakai ABD dan menjalani terapi wicara selama dua tahun
dengan frekuensi terapi satu minggu sekali, Ezra dapat mengungkapkan keinginan,
kemampuan, dan kesukaannya menggunakan pola kalimat dasar S+Adverbial+P,
S+Adverbial+P+O, dan S+P+O. Dalam mengungkapan aktivitas yang sudah dia
lakukan, Ezra menggunakan pola yang terbalik antara predikat dan adverbial
“sudah”. Ezra belum bisa merespon pertanyaan dengan benar. Ini dapat dilihat
dari jawaban yang diberikan tidak
relevan dengan pertanyaan. Dalam mengungkapkan pertanyaan Ezra cenderung
menggunakan kata benda sebagai pengganti kata kerja.
Daftar Pustaka
Arief.
W., Zizlavsky. S., & Priyono, H. (2018). Gambaran Persepsi Audiotori CAP-II
pada Anak Tuli Prelingual Bilateral 6-12 Bulan Pasca Implantasi Koklea. Oto Rhino Laryngologica Indonesiana. 48(1)
hal. 1-10.
Adi,
AC., Widi, RA., & Araminta, P., Sumarlan. (2018). Peranan Pola Pengasuhan
terhadap Pemerolehan Bahasa pada Anak: Kajian Psikolinguistik. Literasi, 8(2) hal. 75-83.
American College of
Obstatrician and Gynecologist. (1981). Rubella. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK218505/
Carns, K.M.S. (2015). Question Exposure and Production in
Preschoolers who Are Hard of Hearing. Thesis. Washington State University.
Chaer,
A. (2009). Sintaksis Bahasa Indonesia.
Jakarta: Rineka Cipta.
Children’s Hospital of
Philadelphia. 2017. The Senses of A
Newborn. http://www.chop.edu/conditions-diseases/newborn-senses/
Christine,
J. (2016). Pemerolehan Bahasa Anak Tunarungu. JPPPAUD 3(2) hal. 95-104.
Damayanti,
F. Susetyo, B., & Hernawati, T. (2016). Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Thank Pair Share untuk Meningkatkan
Ketrampilan Menyimak Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SLB B Negeri Cicendo
Bandung. JASSI_anakku 17(1)hal. 8-13.
Ganur,
M., Bunga, B.N.K., Kiling, Y. I. (2014). Pola Komunikasi Anak Usia Dini
Tunarungu Bukan Bawaan. ReseacrhGate.
Keraf,
G. (2005). Diksi dan Gaya Bahasa.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
Kumalasari,
L., Yuni, SS. (2016). Kemampuan Menyusun Kalimat pada Peserta didik Tunarungu
melalui Kartu Gambar. JURNAL
ORTOPEDAGOGIA 2(1) hal. 47-50.
Kurniasari,
L., Sumarti, E., & Ramadhani, AA. (2020). Penguasaan Bahasa dalam
Komunikasi Lisan Anak Autis di UPT Pendidikan ABK Malang. ALPHABETA 3(1) hal. 63-69.
Martina.
(2014). Hambatan Berbahasa Anak Berkebutuhan Khusus di “Bina Anak Bangsa”
Pontianak. Kandai 10(1) hal. 28-40.
Noermasari,
YA. Efendi. (2016). Efek Metode Maternal Reflektif terhadap Kemampuan Berbicara
Anak Tunarungu. JURNAL ORTOPEDAGOGIA 2(2)
hal. 82-85.
Nugroho,
D.A., (2012). Kemampuan Audiotorik Anak Tuli Kongenital Derajat Sangat Berat
Dengan dan Tanpa Bantu Alat Dengar. Medica
Hospotalia 1(2).
PahlavanNezhad, MR. Niknezhad, HT. (2014). Comparison of the
Speech Syntactic Features between Hearing-Impaired and Normal Hearing Children.
Iranian Journal of Otorhinolaryngology 26(75)
pp. 65-72.
Tarmini, W., Sulistyawati,
Rr. (2019) Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta:
UHAMKA.
Widyastuti, PA., Widiana,
IW. (2020). Analisis Peran Tutor Sebaya terhadap Sikap Sosial Peserta didik
Tunarungu. Journal of Education
Technology 4(1) hal. 46-51.
Williams, C. (2006). Teacher
judgment of the language skills of children in the early years of schooling. Child Lang Teach Ther 22(2)pp.135–54.
Subhanallah,kekuatan seorang ibu benar benar teruji,
BalasHapussetiap orang berjuang dengan ujiannya masing2 ...
BalasHapus