KAJIAN KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA: ADAPTASI BAHASA DAN BUDAYA MAHASISWA INDONESIA DI UNIVERSITAS AL-AZHAR MESIR

Oleh: Pipiet Palestin Amurwani

Abstrak
Dalam melakukan interaksinya, tak jarang manusia harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tempat baru pastilah memiliki perbedaan-perbedaan dari tempat asal dari segi bahasa, budaya termasuk kebiasaan-kebiasaan yang merupakan satu kesatuan tak dapat dipisahkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang proses adaptasi budaya seorang mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Universitas Al - Azhar Mesir. Data diperoleh dengan metode simak catat melalui teknik wawancara mendalam terhadap subyek penelitian. Hasil wawancara dicatat, dianalisa menggunakan teori-teori lintas budaya yang relevan kemudian disimpulkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa AB mendapatkan kendala dalam proses adaptasinya di Mesir. Kendala itu berupa masalah dalam hal bahasa, lingkungan dan budaya. Namun, AB dapat dengan mudah mengatasinya karena karakternya yang terbuka dan mudah bergaul. Sehingga proses adaptasi dapat dilalui dalam waktu yang tidak lama.

Kata kunci: akulturasi, komunikasi, lintas budaya



Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial manusia pasti berinteraksi dan berkomunikasi dengan manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Manusia berinteraksi satu dengan yang lain melalui komunikasi dalam bentuk bahasa. Hal inilah yang menjadi cikal bakal terwujudnya suatu budaya dalam sebuah komunitas manusia atau masyarakat.
 Dalam melakukan interaksinya, tak jarang manusia harus berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tempat baru pastilah memiliki perbedaan-perbedaan dari tempat asal dari segi bahasa, budaya termasuk kebiasaan-kebiasaan yang merupakan satu kesatuan tak dapat dipisahkan. Seperti yang diungkapan Duranti bahwa sumber simbolik yang berasal dari tindakan berbahasa tidak semata-mata menjadi realitas independen—terpisah dari lingkungan struktur sosial, budaya, politik, maupun ekonomi tempat tindakan tersebut berlangsung (Duranti, 1997: 3). Oleh karena itu, manusia harus mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya agar bisa melangsungkan hidupnya dengan baik. Beberapa penelitian mengenai proses adaptasi bahasa dan budaya pernah dilakukan. Solihin (2013) meneliti tentang proses adaptasi mahasiswa asal Bugis yang menempuh pendidikan di Melbourne. Mereka harus mengalami perubahan-perubahan dalam proses adapatasinya. Hutapea (2014) yang meneliti tentang adaptasi warga Indonesia sebagai mahasiswa internasional. Di dalamnya ditulis stress yang dialami mahasiswa dalam hal kehidupan dan relijius.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang proses adaptasi budaya seorang mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Universitas Al - Azhar Mesir. Manfaat lain penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para pelajar atau calon mahasiwa yang akan menempuh studi di Mesir mengenai kendala yang biasa dialami dan langkah alternatif untuk mengatasinya.
Metodologi Penelitian
            Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif studi kasus dengan menggunakan teknik wawancara. Subyek penelitian merupakan seorang mahasiswa Universitas Al – Azhar berinisial AB, yang berasal dari kecamatan Tanggul Kabupaten Jember Jawa timur. AB mengawali studinya dengan bersekolah di sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama negeri (SMP). Kemudian melanjutkan sekolah lanjutan atas setara madrasah aliyah di sebuah pondok pesantren  Kuliyatul Mualimin Al Islamiyah di Jawa Tengah. Berbekal pengetahuan agama yang didapatkan dari TPAA (Taman Pendidikan Al Qur’an Aisyiyah) dan MDAA (Madrasah Diniah Awaliah Aisyiyah) di daerah asal, AB dapat menjalani pendidikannya di pondok pesantren dengan baik. AB melanjutkan pendidikannya  di jurusan syariah islamiyah universitas Al – Azhar yang beralamat di jalan Mokhaym Al Daem, Nasr City, Kairo, Mesir.
Data diperoleh dengan metode simak catat melalui teknik wawancara mendalam terhadap subyek penelitian. Hasil wawancara dicatat, dianalisa menggunakan teori-teori lintas budaya yang relevan kemudian disimpulkan.
Pembahasan
Kendala yang Dihadapi di Mesir
Hasil wawancara menunjukkan bahwa kendala awal yang dihadapi oleh AB adalah dari segi bahasa. Sebagian besar masyarakat Mesir menggunakan bahasa Arab Ammiyah (bahasa daerah) dengan lahjah (baca: logat) yang berbeda dengan bahasa Arab baku (Fushhah). AB mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan masyarakat Mesir dikarenakan ketika belajar bahasa Arab di pondok pesantren menggunakan bahasa baku. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa merupakan media komunikasi yang mutlak harus dimiliki oleh manusia untuk berinteraksi dengan manusia lain di dalam lingkungannya. Seperti pendapat Keraf (2004) bahwa bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia.  Terbukti bahwa dalam perkuliahan AB tidak mengalami kesulitan dalam belajar karena pengajar menggunakan bahasa Arab Fushhah atau bahasa Arab baku seperti yang dia pelajari di pesantrennya. Selain sulit dalam berkomunikasi dengan masyarakat Mesir, AB terkadang mendapatkan perlakuan tidak nyaman secara verbal karena bahasa yang digunakan terlalu baku. Misalnya, ketika sedang berbincang AB ditertawakan karena dianggap bahasanya seperti  bahasa kartun, terlalu kaku.
 Adapun perbedaan pengucapan huruf yang dimaksud seperti [tsa] diucapkan [ta],[qa] diucapkan [a] dan [ja] diucapkan [gha]. Kebiasaan orang Mesir yang berbicara dengan sangat cepat juga menjadi kendala dalam proses komunikasi bagi AB.  Hal ini menyebabkan terjadinya tekanan secara psikologis pada AB. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa adaptasi pertama adalah mempersiapkan kondisi psikis agar nyaman dengan perubahan-perubahan dan kondisi yang ada. Psychological adaptation refers to feelings of well-being or satisfaction during cross-cultural transition (Ward, Leong, & Low: 2014).  Kondisi psikis yang sehat akan memudahkan seseorang untuk beradapatasi dengan lingkungan dan budaya yang baru. Sebagaimana pendapat Kim and Kim,
…that (a) communication competence in the host environment, (b) interpersonal relationship in the host environment, and (c) the degree of similarity between the student’s ethnicity and that host environment were positively associated with psychological health….”(Kim and Kim: 2016)

            Proses adaptasi terhadap lingkungan yang baru dan akulturasi memang tidak mudah untuk dilakukan. Ada beberapa faktor yang mendukung jalannya proses tersebut diantaranya yaitu adanya kemiripan budaya, waktu, usia, latar belakang pendidikan dan karakter individu itu sendiri.
            Selain dari segi bahasa seperti yang diungkapkan sebelumnya, kendala dari lingkungan juga harus dihadapi AB. Mesir memiliki perbedaan musim dengan Indonesia. Ketika musim dingin, udara terasa ekstrim dinginnya sedangkan pada musim panas terasa ekstrim panasnya. Ketika musim dingin, siang terlalu pendek sehingga waktu shalat subuh jam 6 pagi dan maghrib jam 5 sore. Kondisi tersebut menyebabkan perubahan kebiasaan rutinitas sehari-hari yang harus dilakukan AB, seperti jadwal tidur malam yang jelas sangat berbeda dengan di Indonesia.
Untuk hal makanan, Mesir memiliki cita rasa yang tidak terlalu berbeda dengan Indonesia. Namun, paling banyak jenis makanan pokok berupa roti yang tidak biasa dikonsumsi sebagai makanan pokok di Indonesia.
Usaha yang Dilakukan dalam Proses Adaptasi
            Untuk mengatasi kendala dalam hal bahasa, AB meningkatkan intensitasnya berkomunikasi dengan orang Mesir di pasar dan di tempat-tempat umum lainnya. Sehingga mau tidak mau AB harus belajar bahasa Arab Ammiyah (bahasa daerah) yang biasa digunakan oleh orang Mesir kebanyakan. Karakter AB yang terbuka memudahkannya bergaul. Bahkan AB bisa memiliki usaha penyewaan mobil  di Mesir sebagai usaha sampingan di saat tidak ada jadwal kuliah.  Karakter terbuka dan mudah bergaul sangat menunjang proses adaptasi dalam lingkungan baru.
The social skills and behavior suceesfully acquired in daily cultural learning can represent a desired level of socio-cultural adaptation, which further involves two element: the development of “positive interpersonal relations with members of the host culture” and “some level of effectiveness in carrying out the necessary task at hand”(Wang, Li, Nolterneyer, Wang, Zhang, Shaw: 2018).

Selaras dengan pendapat Peterson (2014) dalam Wang et al, Cultural Intelligence is the ability to exhibit certain behaviors, including skills and qualities, which are culturally tuned to the attitudes and values of others. Penyesuaian diri di lingkungan dan masyarakat baru harus terus dilakukan agar kenyamanan berada di tempat baru dapat dicapai. Socio-cultural adaptation is the ability to fit in to the new culture (Ward et al, 2014).
            Dalam hal makanan yang sedikit berbeda dengan Indonesia, AB merasa tidak terlalu sulit mengatasinya. Mudah sekali menemukan rumah makan Indonesia di sana. Banyak rumah makan yang menyediakan makanan-makanan Indonesia yang bisa mengobati kerinduan terhadap makanan khas tanah air.
            Cuaca yang ekstrim sangat mempengaruhi fisik AB. Suhu terendah yang pernah dialami adalah 30 C dan disertai angin sehingga mengakibatkan kulit sangat kering bahkan pecah-pecah dan berdarah. Cara mengatasinya didapat dari senior yang lebih dahulu berada di sana yaitu dengan menggunakan krim kulit atau miyak zaitun. Selain itu, ruang-ruang di Mesir sudah dilengkapi penghangat ruangan. Ketika cuaca panas, suhu bisa mencapai 500 C terkadang disertai badai debu. Akibatnya, kegiatan di luar rumah sangat terbatas pada cuaca panas dan badai.
Dalam hal perbedaan waktu antara Mesir dan Indonesia, tidak ada kendala yang cukup serius. AB mengikuti kebiasaan masyarakat setempat dalam hal memulai kegiatan sehari-hari. Masyarakat Mesir terbiasa istirahat atau tidur setalah melaksanakan sholat subuh. Hal yang demikian disebabkan karena pada musim panas masuk sholat subuh pukul 3 pagi, waktu malam sangat cepat dan waktu siang sangat lama. Sebaliknya pada musim dingin waktu sholat subuh pukul 6 pagi, waktu siang sangat cepat dan waktu malam sangat lama. Akibat dari perbedaan tersebut, aktifitas masyarakat Mesir dapat berlangsung sampai jam 2 pagi. Oleh karena itu, mereka istirahat setelah melaksanakan sholat subuh dan memulai aktivitas kembali pada pukul 10 pagi.
Kesimpulan
            Studi kasus dalam penelitian ini menunjukkan bahwa seseorang yang memasuki lingkungan dan masyarakat baru harus melakukan adaptasi dengan segera. Tujuannya adalah agar orang tersebut segera dapat merasa nyaman dan dapat beraktivitas tanpa hambatan yang berarti. Karakter seseorang yang terbuka dan mudah bergaul menjadi salah satu faktor terpenting dalam proses adaptasi di samping faktor-faktor yang lain yaitu bahasa dan pengetahuan tentang budaya lingkungan baru tersebut. Seperti telah dijelaskan bahwa AB memiliki karakter terbuka dan mudah bergaul sehingga dapat segera beradaptasi dan beraktifitas dengan baik.
Daftar Pustaka
Buku
Duranti,  A. 1997. Linguistic Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press.

Keraf, Gorys. 2005. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.

Kim,Y.Y. 2001. Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and cross-cultural adaptation. Thousand Oaks: Sage.

Artikel
Hutapea, Bonar. 2014. Stres Kehidupan, Religiusitas, dan Penyesuaian Diri Warga Indonesia sebagai Mahasiswa Internasional: Makara Hubs-Asia:Vol. 18 (1).

Solihin, Lukman. 2013. Mereka yang Memilih Tinggal Telaah Strategi Adaptasi Mahasiswa Perantau Bugis-Makasar di Melbourne, Australia. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan: Vol. 19 (2).

Wang, Y., Li, Ti., Nolterneyer. Amity., Wang, Aimin., Zhang, Jinghua., Shaw, Kevin. 2018. Cross-Cultural Adaptation of International College Students in the United States.  Journal of International Students, 8(824-825).

Ward, C.,-H,&Low, M. 2014. Personality and Sojouner Adjustment: An Exploration of the Big Five and the Cultural Fit proposition.  Journal of Cross-Cultural Psychology, 35(2), 137-151.









           
           
           

           

Komentar

Postingan populer dari blog ini

128 Tahun BRI Tumbuh Hebat dan Kuat

Kasih Ibu Segera Sampai dengan JNE Super Speed

Whatsapp Menjadi Pilihan Guru